PENDIDIKAN
SEKS DI SEKOLAH ?
Johan
Wahyudi
Publikasi
hasil penelitian Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) 2010 pada
acara Grand Final Kontes Rap (Minggu, 28 November 2010) mengagetkan semua
pihak, khususnya dunia pendidikan. Laporan BKKBN menyatakan bahwa 51% remaja di
Jabodetabek telah berhubungan seks pranikah. Bahkan, remaja di kota-kota besar
pun telah melakukan hal yang sama. Tercatat, 54% remaja di Surabaya, 47% remaja
di Bandung, dan 52% remaja di Medan tidak perawan lagi alias telah melakukan
seks pranikah. Dan remaja adalah generasi seusia anak sekolah. Berita itu
sungguh terasa sangat menyayat perasaan kita.
Mereka –
para remaja – adalah generasi penerus dan terwaris bangsa ini. Jika remaja
sudah terjerumus ke dunia seks bebas, kita harus bersiap menghadapi kenyataan
pahit. Sebuah kondisi yang teramat memilukan karena moral generasi itu telah
terdegradasi. Lalu, bagaimanakah kita menyikapi keadaan itu? Haruskah kita
berkesimpulan bahwa itu hanya peristiwa biasa sebagai dampak kemajuan
teknologi? Sebagai orang bijak dan orang tua yang bijaksana, tentu kondisi ini
harus menjadi pelajaran berharga.
Menyikapi
hasil penelitian itu, hendaknya kita tidak meletakkan semua kesalahan itu
kepada remaja semata. Hendaknya kita tidak mem-vonis bahwa semua remaja tak
bermoral. Semua pihak harus berintrospeksi, terlebih bagi seorang pendidik dan
dunia pendidikan. Ya, dunia pendidikan harus bertanggung jawab dengan kondisi
ini. Mengapa dunia pendidikan harus menanggung kesalahan ini?
Selama ini,
dunia pendidikan hanya meletakkan tujuan kognitif kepada siswanya. Sekolah
hanya bertujuan untuk meluluskan siswanya melalui beragam kegiatan akademik.
Para guru hanya membentuk intelegensi dan kecakapan hidup. Dan dunia pendidikan
belum memberi pendidikan akhlak yang cukup kepada siswanya. Ini dapat terlihat
dari komposisi kegiatan di sekolah. Sangat jarang sekolah member pelajaran
tambahan budi pekerti. Maka, kita pun tidak begitu terkejut ketika peristiwa
ini terjadi?
Kasus
asusila yang terjadi di sebuah sekolah negeri di kota bengawan dapat menjadi
cermin dari bobroknya dunia pendidikan. Sepasang siswa tepergok berbuat mesum
di sekolah (Solopos, 23 November 2010). Peristiwa itu merupakan bukti nyata
bahwa pendidikan kita telah menuju ke arah yang salah. Pendidikan kita telah
mengesampingkan pendidikan karakter. Lalu, akankah kita membela diri dengan
berdalih bahwa itu merupakan peristiwa biasa?
Integralisasi
Pendidikan Seks
Seks itu
bersifat instingtif atau naluri. Seks didorong oleh libido atau keinginan kuat
untuk menyalurkan hasrat. Jadi, hasrat seks merupakan pemberian Tuhan sebagai
wujud karunia terindah jika digunakan secara benar. Jadi, perlukah pendidikan
seks dibuat secara eksklusif? Menurut penulis, itu tidak diperlukan.
Pendidikan
seks tidak perlu disusun secara terpisah sebagai mata pelajaran baru.
Pendidikan seks hanya perlu disusun secara integral dengan mata pelajaran lain.
Dan ini memerlukan kecakapan guru untuk mewujudkannya. Ya, guru harus
berkemampuan untuk mewujudkan pendidikan seks secara terintegral agar para
siswanya menjadi pribadi bermoral.
Cukup banyak
mata pelajaran yang dapat digunakan sebagai media pendidikan seks. Hampir semua
mata pelajaran dapat digunakan untuk mengintegralkan pendidikan seks. Sebagai
contoh, pendidikan agama dapat menggunakan materi seks ketika mengajarkan
akhlak mulia. Pendidikan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dapat menggunakan
materi seks melalui bacaan dan media pembelajaran. Pendidikan biologi dapat
menggunakan materi seks dalam materi alat-alat reproduksi dan jenis penyakit
kelamin. Jika para guru kreatif, semua mata pelajaran dapat digunakan untuk
menyampaikan materi seks.
Ketika
mengajarkan materi seks, hendaknya guru hanya menerangkan materi seks secara
implisit atau tersirat. Guru cukup memberi gambaran sekilas akan akibat buruk
dari perilaku seks bebas. Jadi, guru tidak perlu menerangkan seks secara
detail. Hendaknya guru tidak menerangkan seks secara vulgar. Jangan sampai
materi pendidikan seks berubah menjadi materi pendidikan bermain seks. Untuk
mewujudkan itu, dituntut keprofesionalan guru.
Guru perlu
menyampaikan materi seks secara deskriptif-komparatif. Siswa cukup diberi
gambaran dampak dari seks bebas. Jika diperlukan, media pun dapat digunakan
sebagai pembanding informasi. Berita-berita tentang penyakit kelamin dan aborsi
dapat digunakan sebagai bahan bandingan. Untuk memudahkan penangkapan materi,
sesekali guru perlu memberikan visualisasi jenis penyakit, kunjungan ke rumah
sakit, dan mendatangkan ilmuwan (dokter spesialis kelamin). Jika semua langkah
itu telah dilakukan, siswa pasti mempunyai pemahaman yang benar tentang seks.
Pemahaman yang tidak diperoleh melalui tayangan televisi dan internet. Namun,
pemahaman seks yang benar karena diperoleh dari para pakar. Dan itulah tujuan
pendidikan seks yang sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar