Get Gifs at CodemySpace.com

Kamis, 05 April 2012

Pendidikan Seks di Sekolah


PENDIDIKAN  SEKS  DI  SEKOLAH ?
Johan Wahyudi


Publikasi hasil penelitian Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) 2010 pada acara Grand Final Kontes Rap (Minggu, 28 November 2010) mengagetkan semua pihak, khususnya dunia pendidikan. Laporan BKKBN menyatakan bahwa 51% remaja di Jabodetabek telah berhubungan seks pranikah. Bahkan, remaja di kota-kota besar pun telah melakukan hal yang sama. Tercatat, 54% remaja di Surabaya, 47% remaja di Bandung, dan 52% remaja di Medan tidak perawan lagi alias telah melakukan seks pranikah. Dan remaja adalah generasi seusia anak sekolah. Berita itu sungguh terasa sangat menyayat perasaan kita.

Mereka – para remaja – adalah generasi penerus dan terwaris bangsa ini. Jika remaja sudah terjerumus ke dunia seks bebas, kita harus bersiap menghadapi kenyataan pahit. Sebuah kondisi yang teramat memilukan karena moral generasi itu telah terdegradasi. Lalu, bagaimanakah kita menyikapi keadaan itu? Haruskah kita berkesimpulan bahwa itu hanya peristiwa biasa sebagai dampak kemajuan teknologi? Sebagai orang bijak dan orang tua yang bijaksana, tentu kondisi ini harus menjadi pelajaran berharga.

Menyikapi hasil penelitian itu, hendaknya kita tidak meletakkan semua kesalahan itu kepada remaja semata. Hendaknya kita tidak mem-vonis bahwa semua remaja tak bermoral. Semua pihak harus berintrospeksi, terlebih bagi seorang pendidik dan dunia pendidikan. Ya, dunia pendidikan harus bertanggung jawab dengan kondisi ini. Mengapa dunia pendidikan harus menanggung kesalahan ini?

Selama ini, dunia pendidikan hanya meletakkan tujuan kognitif kepada siswanya. Sekolah hanya bertujuan untuk meluluskan siswanya melalui beragam kegiatan akademik. Para guru hanya membentuk intelegensi dan kecakapan hidup. Dan dunia pendidikan belum memberi pendidikan akhlak yang cukup kepada siswanya. Ini dapat terlihat dari komposisi kegiatan di sekolah. Sangat jarang sekolah member pelajaran tambahan budi pekerti. Maka, kita pun tidak begitu terkejut ketika peristiwa ini terjadi?

Kasus asusila yang terjadi di sebuah sekolah negeri di kota bengawan dapat menjadi cermin dari bobroknya dunia pendidikan. Sepasang siswa tepergok berbuat mesum di sekolah (Solopos, 23 November 2010). Peristiwa itu merupakan bukti nyata bahwa pendidikan kita telah menuju ke arah yang salah. Pendidikan kita telah mengesampingkan pendidikan karakter. Lalu, akankah kita membela diri dengan berdalih bahwa itu merupakan peristiwa biasa?

Integralisasi Pendidikan Seks

Seks itu bersifat instingtif atau naluri. Seks didorong oleh libido atau keinginan kuat untuk menyalurkan hasrat. Jadi, hasrat seks merupakan pemberian Tuhan sebagai wujud karunia terindah jika digunakan secara benar. Jadi, perlukah pendidikan seks dibuat secara eksklusif? Menurut penulis, itu tidak diperlukan.

Pendidikan seks tidak perlu disusun secara terpisah sebagai mata pelajaran baru. Pendidikan seks hanya perlu disusun secara integral dengan mata pelajaran lain. Dan ini memerlukan kecakapan guru untuk mewujudkannya. Ya, guru harus berkemampuan untuk mewujudkan pendidikan seks secara terintegral agar para siswanya menjadi pribadi bermoral.

Cukup banyak mata pelajaran yang dapat digunakan sebagai media pendidikan seks. Hampir semua mata pelajaran dapat digunakan untuk mengintegralkan pendidikan seks. Sebagai contoh, pendidikan agama dapat menggunakan materi seks ketika mengajarkan akhlak mulia. Pendidikan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dapat menggunakan materi seks melalui bacaan dan media pembelajaran. Pendidikan biologi dapat menggunakan materi seks dalam materi alat-alat reproduksi dan jenis penyakit kelamin. Jika para guru kreatif, semua mata pelajaran dapat digunakan untuk menyampaikan materi seks.

Ketika mengajarkan materi seks, hendaknya guru hanya menerangkan materi seks secara implisit atau tersirat. Guru cukup memberi gambaran sekilas akan akibat buruk dari perilaku seks bebas. Jadi, guru tidak perlu menerangkan seks secara detail. Hendaknya guru tidak menerangkan seks secara vulgar. Jangan sampai materi pendidikan seks berubah menjadi materi pendidikan bermain seks. Untuk mewujudkan itu, dituntut keprofesionalan guru.

Guru perlu menyampaikan materi seks secara deskriptif-komparatif. Siswa cukup diberi gambaran dampak dari seks bebas. Jika diperlukan, media pun dapat digunakan sebagai pembanding informasi. Berita-berita tentang penyakit kelamin dan aborsi dapat digunakan sebagai bahan bandingan. Untuk memudahkan penangkapan materi, sesekali guru perlu memberikan visualisasi jenis penyakit, kunjungan ke rumah sakit, dan mendatangkan ilmuwan (dokter spesialis kelamin). Jika semua langkah itu telah dilakukan, siswa pasti mempunyai pemahaman yang benar tentang seks. Pemahaman yang tidak diperoleh melalui tayangan televisi dan internet. Namun, pemahaman seks yang benar karena diperoleh dari para pakar. Dan itulah tujuan pendidikan seks yang sebenarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar